Memperingati 189 Tahun Setelah Penangkapan Diponegoro

oleh -2,242 views

JABARPOS – Bertepatan dengan 189 tahun yang lalu atau 28 Maret 1830 silam, Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda di Rumah Karesidenan Jalan Diponegoro No 1 Kota Magelang, digelar pementasan Teater Tari ‘Aku Diponegoro’. Pertunjukan merupakan bagian dari ajakan Direktur Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI agar masyarakat melek sejarah.

Pertunjukan ‘Aku Diponegoro’ melibatkan sekitar 60 penari dan pemusik lainnya 15-20 orang. Mereka yang terlibat kebanyakan seniman dari Surakarta.

Pementasan kali ini terasa sangat istimewa karena bertepatan dengan 189 tahun yang lalu, Pangeran Diponegoro ditangkap di ruang baca Rumah Karesiden. Sebagaimana diketahui Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda pada saat hari kedua atau Hari Raya Idul Fitri pada 28 Maret 1830.

Koreografi pementasan Teater Tari ‘Aku Diponegoro’ digarap oleh Djarot B Dharsono dan naskah Landung Simatupang. Untuk persiapan pementasan ‘Aku Diponegoro’ yang berlangsung di Gedung Karesidenan dilakukan selama dua bulan.

“Saya tertarik dan menerima saja, artinya tanpa saya harus riset dan sebagainya. Kemudian mengumpulkan teman-teman, akhirnya jadi seperti ini (pementasan ‘Aku Diponegoro’). Akhirnya, kita memilih naskahnya Mas Landung Simatupang yang berjudul ‘Aku Diponegoro’,” kata koreografer teater tari ‘Aku Diponegoro’, Djarot B Dharsono usai pementasan, Kamis (28/3/2019), malam.

Dia pun melanjutkan, “Di mana lebih bercerita persoalan dari lahir sampai Diponegoro tertangkap dengan cara yang sangat lugas, wajar, tiap orang itu mampu memahami bukunya Mas Landung. Karena kalau membaca naskahnya Peter Carey persiapan ini harus panjang.”

Dalam pementasan Teater Tari ‘Aku Diponegoro’, katanya, menampilkan empat babak dan tiap babak ada adegan-adegan.

“Kami berangkat dari awal mula Pangeran Diponegoro ditangkap saat hari kedua, Hari Raya Idul Fitri. Dari sana, saya mencoba flashback ke belakang akhirnya berangkat memilih dari kelahiran Diponegoro, Diponegoro besar, Diponegoro dididik oleh nenek buyutnya,” imbuh Djarot.

Nenek buyut Diponegoro kemudian menjadi salah satu sosok sentral di pagelaran teater ini.

“Kebetulan yang mendidik nenek buyutnya ini sangat menarik untuk saya, bagaimana figur kekuatan seorang laki-laki yang memang punya misi dan kekuatan di belakangnya itu, sosok figur seorang perempuan. Itu mungkin hampir di setiap sejarah dari kekuatan heroik seorang laki-laki di belakangnya memang support dari perempuan,” kata dia seraya menyebut merupakan pementasan yang pertama kalinya.

Djarot B Dharsono sebelumnya pernah terlibat dalam garapan-garapan pementasan Diponegoro. Untuk itu, ia pun menerima dan tertarik untuk mementaskan ‘Aku Diponegoro’ ini. Mengingat sebelumnya pernah terlibat dalam riset serta pementasan Diponegoro karya Sardono W Kusumo.

Untuk pementasan kali ini, ia memilih naskah Landung Simatupang.

“Kalau praktis kita karena mendadak sekali juga formasinya. Kita garap selama dua bulan. Dan dengan waktu latihan yang panjang, sehari bisa 6 jam latihan,” tuturnya.

Sementara itu, salah satu keturunan ke-7 dari Pangeran Diponegoro, Roni S (50) mengatakan, pentas malam ini merupakan pentas yang kesekian kalinya dari drama ‘Aku Diponegoro’ yang naskahnya dari Landung Simatupang.

“Dulu pentas pertama kali juga di tempat ini sekitar tahun 2014. Kemudian dilanjutkan pentas seri berikutnya di Tegalrejo, kemudian di Jakarta, Makassar, kemudian beberapa kali dipentaskan di tempat lain,” tuturnya.

“Malam hari ini, pentas ‘Aku Diponegoro’ dipentaskan di tempat ini bertepatan dengan tanggal 28 Maret adalah hari penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal De Kock. Ini adalah sesuatu yang sangat diharapkan bagi semua orang dan ini adalah bukti (melihat pengunjung yang banyak). Ini bukti sejarah bukan hal yang membosankan sebetulnya, hal yang dibutuhkan oleh bangsa ini,” lanjut dia.

Antusias para penonton pun sangat banyak sekali. Bahkan untuk di deretan kursi tamu undangan hadir.

Di antaranya ada Direktur Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Triana Wulandari, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada 1993 hingga 1998 Wardiman Djojonegoro, Nina Akbar Tandjung, Wali Kota Magelang Sigit Widyonindito, dan tamu undangan lainnya.(detikcom)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *