JABARPOS.COM – Bersamaan dengan pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham [RUPS] produsen batubara terbesar kedua di Indonesia, Adaro Energy, sejumlah aktivis melakukan aksi damai di depan gedung kantor Adaro Energy pagi ini, Senin, 26 April 2021.
Direktur Eksekutif Enter Nusantara Elok Faiqotul Mutia mengungkapkan Aksi ini bagian dari upaya menghentikan penggunaan energi kotor dan mendesak investor dan lembaga jasa keuangan yang selama ini mendukung bisnis batubara untuk tidak terbuai dengan rencana Green Initiatives Adaro Energy yang terkesan sebagai upaya Greenwashing.
“Pernyataan CEO Adaro Energy, Garibaldi Thohir, terkait rencana perusahaan untuk melakukan diversifikasi ke arah green energy patut dipertanyakan. Karena sejauh ini tidak ada strategi jelas yang tertuang dalam publikasi perseroan,” ungkapnya dalam keterangan resmi yang diterima Bertuahpos.com, Senin, 26 April 2021.
“Green Initiatives yang digaungkan Adaro saat ini hanya sebatas narasi semu untuk membangun citra baik perusahaan. Sebab, pada saat yang sama Adaro tetap berupaya mencari pinjaman US$400 juta untuk menutupi utang jatuh tempo agar tetap dapat melakukan eksploitasi energi kotor batubara,” ujar Andri Prasetiyo, Peneliti Trend Asia.
Baca: Target 50 Kantong, Grand Zuri Hotel Kembali Adakan Aksi Donor Darah
BACA JUGA: Sikumbang, Pesawat Pertama Buatan Indonesia
Adaro Energy, melalui anak usahanya PT Adaro Indonesia, diduga memiliki pinjaman sindikasi dengan plafon US$1 miliar yang akan jatuh tempo pada Agustus 2021. Bank-bank yang ebelumnya terlibat dalam pinjaman2 tersebut adalah ANZ, Standard Chartered, HSBC, Citigroup, CIMB, Maybank, DBS, OCBC, UOB, MUFG, SMBC, Mizuho, ING Bank, dan Bank Mandiri.
Dalam laporan tahunannya, Adaro Energy menyebutkan bahwa pertambangan batubara masih merupakan DNA grup dan menargetkan volume produksi batubara sebesar 52-54 juta ton, sebanding dengan produksi mereka tahun lalu.
Adaro Energy memiliki cadangan batubara sebesar 1.1 miliar ton, jika batubara tersebut dibakar maka akan menghasilkan emisi sebesar 2.2 GtCO2-e. Sekjen UN, Antonio Guterres, menyatakan bahwa dunia harus segera berhenti menggunakan batubara3 untuk dapat mencapai target global membatasi kenaikan temperatur di bawah 1.5°C.
“Batubara telah terbukti menjadi pembunuh senyap dan mematikan bagi masyarakat sekitar PLTU. Contohnya di wilayah Jabodetabek. PLTU batubara dalam radius 100 km dari Jakarta bertanggung jawab atas sekitar 2.500 kematian dini 4 di wilayah Jabodetabek, dengan biaya tahunan yang ditimbulkan mencapai 1,5 triliun rupiah per tahun,” tegas Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta.
Dia menambahkan, Adaro Energy juga mengasumsikan permintaan batubara akan tetap stabil untuk lima tahun ke depan. Padahal, berdasarkan analisis International Energy Agency5, dalam skenario di mana ekonomi global kembali ke level sebelum pandemi, permintaan batubara global tidak akan kembali ke level sebelum pandemi.
Negara-negara target ekspor batubara Adaro Energy, seperti Korea Selatan, China dan Jepang, juga telah menyatakan target nol emisi, sehingga diperkirakan akan mengurangi permintaan batubara dari negara-negara tersebut.
Tahun lalu, perusahaan pertambangan batubara terbesar dalam grup Adaro Energy, PT Adaro Indonesia, berkontribusi sebesar 87 persen dari total pendapatan grup Adaro Energy. PT Adaro Indonesia menjalankan operasi pertambangan batubara di Kalimantan Selatan di bawah naungan PKP2B yang berlaku sampai tahun 2022.
“Bank yang terlibat dalam pendanaan Adaro Energy, akan terpapar risiko reputasi sebagai bank yang mendanai salah satu sumber emisi gas rumah kaca yang memicu pemanasan global. Investor Adaro Energy harus mendorong Adaro Energy untuk mengembangkan rencana strategis dengan target batas waktu yang terukur untuk mengurangi ketergantungan perusahaan terhadap batubara dan akhirnya keluar dari bisnis batubara,” tegas Binbin Mariana, Southeast Asia Energy Finance Campaigner dari Market Forces.
Sementara itu koordinator perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat Pius Ginting mengatakan bahwa tren produksi Adaro Energy yang terus meningkat selama tahun 2016-2020 bertentangan dengan amanat RUEN 2017 yang mengharuskan produksi batubara diturunkan dari 461,6 juta ton tahun 2015 menjadi maksimal 400 juta ton tahun 2019.
“Jadi proporsi investasi Adaro Energy belum ada transformasi signifikan ke energi non-batubara,” ungkapnya.
Menurutnya, Adaro Energy adalah satu dari 100 perusahaan di dunia yang bertanggung jawab atas 71% emisi global. Dukungan pembiayaan terhadap Adaro Energy sama dengan investasi memastikan krisis iklim. Saat ini, dunia telah meninggalkan energi fosil.
Masyarakat Indonesia terutama anak muda sudah semakin cerdas terhadap bahaya krisis iklim. Tidak perlu seorang jenius untuk melihat sentimen pasar yang haus akan pembangunan berkelanjutan.
Dia juga menyebut bahwa bank dan investor harus memilih apakah akan membangun untuk keselamatan umat manusia atau menyelamatkan elite batubara. “Kami menunggu komitmen institusi keuangan dan para investor untuk segera berhenti mendanai energi fosil,” tuturnya. (rilis)