JABARPOS.COM – Kementerian Dalam Negeri mencermati dua modus penyalahgunaan jabatan kepala daerah, yakni penyalahgunaan sumber daya perizinan yang dan jual beli jabatan. “Ini modus yang kami catat beberapa tahun, hampir 14 tahun terakhir,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik Piliang di Cikini, Jakarta, Sabtu, 27 Oktober 2018.
Menurut Akmal, ada beberapa modus lain yang digunakan kepala daerah melalui kewenangannya. Antara lain, kata dia, modus itu seperti memainkan pengadaan barang dan jasa, serta dana hibah. “Yang terbanyak itu mutasi dan perizinan karena ongkos politik yang tinggi.”
Akmal mengatakan setidaknya ada tujuh area rawan korupsi yang harus dihindari kepala daerah. Tujuh area itu menyangkut perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pengadaan barang dan jasa, penarikan neraca distribusi, dana hibah dan bansos, perjalanan dinas, hingga mutasi jabatan dan perizinan.
Kemendagri mencatat ada 434 kepala daerah yang terjerat kasus hukum sejak 2004 hingga 2018. Kemendagri menyebut tren kepala daerah tersangkut korupsi ini semakin menurun hingga Oktober 2018.
Beberapa waktu lalu, Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin menjadi tersangka dalam kasus suap perizinan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Neneng menjadi tersangka penerima suap terkait perizinan proyek Meikarta. Neneng dan empat pejabat Pemerintah Kabupaten Bekasi diduga menerima imbalan Rp13 miliar dari Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro dan sejumlah pegawai Lippo Group.
Adapun, kasus jual beli jabatan terjadi di Cirebon, Jawa Barat. KPK menetapkan Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra sebagai tersangka korupsi karena menerima hadiah atau janji sehubungan dengan mutasi, rotasi dan promosi jabatan di pemerintahan Cirebon pada Kamis, 25 Oktober 2018.
KPK kata Alex menyangka Gatot melalui ajudan bupati memberikan uang suap senilai Rp100 juta sebagai imbalan mutasi dan pelantikan Gatot sebagai Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang pemerintah Cirebon. (Tempo)