BANDUNG – Pada 2 September 2009, gempa bumi dengan kekuatan 7,3 Skala Richter mengguncang wilayah Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, menyebabkan 80 persen bangunan rumah warga dan fasilitas publik hancur. 11 orang warga tewas
Tetapi seiring berjalannya waktu, saat ini suasana desa dan kondisi masyarakat Pangalengan berangsur pulih. Aparat dan warga desa bahu-membahu memajukan desa. Kini, setelah hampir satu dekade, warga Desa Pangalengan berhasil bangkit dan bahkan meraih prestasi.
Kepala Desa Pangalengan Dra Tati Yulian Domo sukses memimpin warganya bangkit dari keterpurukan akibat bencana. Perempuan pertama yang menjabat sebagai Kepala Desa Pangalengan itu menuturkan bahwa memulihkan trauma setelah bencana besar bukan hal mudah.
Menurut Tati, bukan hal yang mudah untuk melupakan trauma akibat gempa bumi. Banyak warga yang kehilangan harta bendanya, rumah mereka rata dengan tanah, bahkan ada 11 orang warga tewas akibat gempa.
Sebagai Kades, Tati memotivasi warga untuk bangkit dengan fokus bekerja dan berkarya, menampilkan performa terbaik, dan menggerakkan kembali gotong royong, sambil terus membangun komunikasi dengan warga yang menurut situs resmi desa jumlahnya 21.543 orang.
Bersamaan dengan upaya-upaya itu, Tati menjalankan program-program inovasi desa untuk menata kembali Desa Pangalengan, yang dibentuk tahun 1811 dan namanya konon diambil dari istilah pengalengan kopi karena pada masa lalu daerah itu merupakan tempat perkebunan dan pengolahan kopi.
“Sekali lagi itu semuanya bukanlah hal yang mudah, rintangan dan kerikil tajam senantiasa mengiringi usaha dan upaya yang telah dilakukan, tapi alhamdulillah, berkat dukungan dan partisipasi warga masyarakat lah yang membuat semuanya dapat bertahan,” kata Tati.
Guna meningkatkan kesehatan warganya, Tati mengoptimalkan fungsi Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dengan menawarkan program yang inovatif guna menarik simpati warga.
Desa Pangalengan yang berhawa dingin saat ini memiliki satu Puskesmas dan setiap lingkungan rukun warganya sudah memiliki Posyandu. Desa Pangalengan punya 24 Rukun Warga (RW).
Sebagai seorang ibu, Tati juga menampung masukan dari ibu rumah tangga di desanya lewat kelompok Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), yang mengadakan berbagai kegiatan seperti demo memasak, kursus menjahit dan pelatihan keterampilan.
Di samping itu, Tati bersama aparat Desa Pangalengan memikirkan solusi untuk mengelola sampah. Desa Pangalengan menghadapi masalah karena warga desa masih banyak yang membuang sampah di pinggir jalan atau pinggir fasilitas publik seperti Pasar Pangalengan.
Akibatnya, pemerintah desa harus mengeluarkan biaya operasional besar untuk mengangkut sampah warga. Setiap kali mengangkut sampah warga desa ke tempat pembuangan akhir sampah di luar desa, pemerintah desa harus mengeluarkan biaya sampai Rp25 juta.
Kondisi itu mendorong pemerintah desa berinovasi, menggagas program Bank Sampah. Selain menampung dan memanfaatkan sampah organik dan anorganik warga, Bank Sampah Desa Pangalengan akan memungkinkan warga berobat gratis di Puskesmas Desa Pangalengan dengan menukarkan sampah.
Saat ini, kerja Tati bersama warga membangun desa telah membuahkan prestasi. Desa Pangalengan telah memiliki puskesmas, posyandu di 24 RW, masjid di setiap RW, 10 Sekolah Dasar Negeri, satu Sekolah Menengah Pertama, dan dua Sekolah Menengah Atas.
Desa Pangalengan juga pernah menjadi Juara I Lomba Desa Tingkat Kabupaten Bandung dan kemudian mewakili Kabupaten Bandung mengikuti lomba desa di tingkat Provinsi Jawa Barat.
Berkat kerja keras warga dan aparatnya, Desa Pangalengan juga terpilih menjadi salah satu desa penerima bantuan keuangan dalam Program Desa Mandiri dalam Perwujudan Desa Peradaban.
Tak sampai di situ, tahun lalu Desa Pangalengan terpilih sebagai Desa Terbaik peringkat ke-57 dari 100 Desa Terbaik di Indonesia versi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia.***/Ant