Napak Tilas Sejarah, di Kawasan Gunung Kunci Sumedang

oleh -6,446 views

SUMEDANG,Jabarpos.com.– Siang itu cukup teduh, karna awan menutupi sinar matahari, jadi udara di kawasan hutan lindung Gunung Kunci, terasa semakin sejuk, padahal jam di tangan menunjukan pukul 11.35 siang.

“Kalau ada yang punya indra keenam, kalian bisa lihat ada Ibu Geulis di gerbang ini,” kata Lili Mulyana, kuncen Taman Hutan Raya Gunung Kunci. Dia membawa pengunjung semakin dalam ke gua peninggalan Belanda, sembari mengisahkan sosok perempuan cantik nan mistis.

Dengan cahaya seadanya, satu-satu ruangan dijabarkan pria usia senja yang akrab disapa Abah itu. Dekat dengan gerbang masuk, ruang tahanan berjajar sepanjang kedua sisi lorong. Kata Abah, ruangan ini merupakan sel bagi jawara-jawara bangsa Indonesia, yang menolak tunduk pada Belanda di zaman penjajahan dulu.

Gunung Kunci, adalah salah-satu tempat wisata yang berlokasi di jalan Raya Pabu Gajah Agung Kutamaya, Sumedang, Jawa Barat. Dulu, gunung ini adalah tempat yang sejarahnya kental dengan muatan peninggalan penjajahan Belanda.

Sementara kini, Gunung Kunci lebih dikenal sebagai objek wisata Sumedang. Gunung yang memiliki simbol dua kunci saling silang di pintu gerbangnya ini memiliki amphitheater atau panggung hiburan terbuka, Bangunan pujasera, tempat istirahat, arena bermain, gua Belanda, arena outbond, joging track, menara pengawas, mushala dan toilet.

Arena bermain masih ramai oleh anak-anak dari kampung sebelah. Pun Gua Belanda, masih berdiri dengan sakral dan penuh misteri. Namun, beberapa tempat seperti pujasera, mushala, dan toilet seolah habis terkikis zaman.

Panggung hiburan terbuka itu dipenuhi sarang laba-laba dan lantainya seperti tak pernah disapu bertahun-tahun. Abah menjelaskan dinding-dinding yang catnya sudah pudar sana-sini, bangunan toilet, mushala dan pujasera yang hampir lapuk juga kotor itu diakibatkan oleh kurangnya pengelolaan dari pemerintah. “Mereka yang bangun tapi enggak dikelola, saya enggak tahu alasannya,” kata Lili sambil membimbing pengunjung.

Pada bulan lalu, saya menyaksikan gunung dengan hutan pinus dan mahoni sebagai tanaman yang tumbuh mendominasi itu tak banyak dikunjungi orang. Ada tiga mahasiswi, yang tengah menggelar rapat panitia berkenaan dengan acara peringatan satu abad Gunung Kunci, satu pasangan muda-mudi, dan beberapa anak di taman bermain.

Selebihnya hanya ada orang dalam, penjaga karcis, pihak Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, juga Abah Lili sang Kuncen. Kawasan yang terbilang sepi untuk ukuran tempat wisata bersejarah.

Tapi, menurut Entin, salah-satu pedagang dekat Gunung Kunci justru mengatakan sebaliknya. “Dulu sempat sangat sepi, tapi sekarang alhamdulillah banyak pengunjung lagi. Kemarin bahkan sampai ada lima bus rombongan dari Cirebon,” ujarnya.

Nama Gunung Kunci berasal dari sebutan Belanda untuk tempat pertahanan sebagai kunci pertahanan terbesar. Dibangun sekitar tahun 1914 sampai 1917 oleh jenderal dari negeri kincir angin itu. Di sekitarnya, terdapat benda bersejarah, benteng pertahanan (Bunker).

Tempat ini dikelola oleh 2 lembaga, yaitu, Dinas Kehutanan atau UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) dan BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) Khusus Gua.

Kawasan ini semula merupakan kawasan hutan produksi terbatas pada kelompok hutan karena memenuhi kriteria keindahan alam sekaligus nilai historis yang tinggi. Terlebih, luasan yang cukup untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan satwa mendorong pemerintah mengalihfungsikan Gunung Kunci menjadi taman hutan raya dengan surat keputusan menteri kehutanan No: SK.297/Menkut-II/2004 tahun 2004.

Tempat ini buka pukul 08.00 – 17.00 WIB dengan tiket seharga Rp.3.000 saja bagi dewasa/ umum, Rp.2.000 untuk anak kecil, Rp.20.000 bagi pelancong asing, dan Rp. 50.000 bagi juru foto. Perusakan oleh siapapun dalam bentuk apapun akan didenda ratusan juta. Hal itu telah diatur dalam Undang-undang Kehutanan untuk menimbulkan efek jera.

Adapun soal Gua Belanda, cerita-cerita lama masih lestari hingga kini. Soal keberadaan harta dan perhiasan yang tertimbun di reruntuhan salah-satu sudut gua, misalnya. Abah meyakini, reruntuhan itu adalah ulah sesepuh yang menghancurkan tempat penyimpanan barang berharga dengan ilmu dan kekuatannya. “Atau ada sebagian pendapat yang mengatakan penghancurannya memakai dinamit, supaya harta kita enggak jatuh ke tangan Belanda,” katanya.

Ada lagi tragedi hukuman mati terhadap para jagoan Indonesia di lantai dua. Meski sudah usang dan berkarat, besi berbentuk tanda tanya terbalik yang kata Abah digunakan sebagai pengait tali gantungan itu masih sangat kokoh. Tepat di bawahnya, sumur tertutup beton yang sudah tertimbun tanah liat disebut-sebut mengandung ribuan jasad para leluhur bangsa Indonesia.

Cerita mistis mewarnai tempat bersejarah ini. Menurut sang kuncen, makam keramat yang sering menjadi tempat peziarahan itu sebetulnya hanyalah sebuah tanda untuk penghormatan. Sementara jasadnya sama-sekali nihil. “Prabu Jaya Sakti, Ratu Ratna Dewi, Uyut Batu Wangi, Eyang Tongkat Sakti, Eyang Garaba Sakti, Uyut Semar, dan total 628 leluhur lainnya ngahiang, mereka menghilang dan meleburkan jasadnya. Hanya, agar tidak bertentangan dengan ayat ‘setiap yang bernyawa pasti akan mati’ maka dibangunlah nisan ini,” jelasnya.

Bagi Abah Lili Mulyana, Gunung Kunci merupakan kantor sekaligus rumah keduanya. “Yaa, udah kaya orang kantoran, saya di sini dari pukul 7.30 sampai 4.30 WIB,” katanya.

Dia hanya berpenghasilan dari para pengunjung yang bersedia memberi. Kendati tak ada upah tetap, namun Abah mengaku sangat menyukai pekerjaan turun temurun dari leluhurnya ini. “Untuk makan sehari-hari alhamdulillah saya tak pernah merasa kekurangan, rezeki tak pernah tertukar dan Allah pasti balas jasa saya menjaga alam,” kata Abah sambil tersenyum. (AP/JPC)