JABARPOS – Masih banyaknya masyarakat yang belum memeliki e-KTP membuat Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil tindakan. MK memutuskan Surat Keterangan (Suket) sebagai bukti otentik untuk bisa nyoblos saat 17 April nanti.
“Menyatakan frasa “kartu tanda penduduk elektronik” dalam Pasal 348 ayat (9) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk pula surat keterangan perekaman kartu tanda penduduk elektronik yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil atau instansi lain yang
sejenisnya yang memiliki kewenangan untuk itu’,” demikian putusan MK dalam sidang di Gedung MK, Kamis (28/3) kemarin.
Menurut MK, penggunaan KTP-el sebagai identitas pemilih merupakan syarat alternatif dalam penggunaan hak memilih maka identitas selain KTP-el tidak dapat disamakan dengan KTP-el.
KTP-el ditempatkan sebagai batas minimum identitas warga negara yang memiliki hak pilih untuk dapat menggunakan haknya. Adapun identitas lainnya tidak dapat disamakan dengan KTP-el sebagai identitas resmi penduduk yang diakui dalam sistem administrasi kependudukan Indonesia
“Dalam konteks bahwa pemilu yang jujur dan adil juga bergantung pada akuntabilitas syarat administratif yang diterapkan dalam penggunaan hak pilih maka KTP-el merupakan identitas resmi yang dapat dipertanggungjawabkan, dalam arti, KTP-el-lah yang secara tegas dinyatakan dalam UU Pemilu sebagai identitas resmi,” papar pertimbangan MK.
Adapun identitas lainnya tidak dapat diposisikan setara dengan KTP-el sehingga keberadaannya juga tidak sama. Oleh karena itu, agar identitas yang dapat digunakan pemilih untuk menggunakan hak memilihnya betul-betul dapat dipertanggungjawabkan serta sangat kecil peluang untuk menyalahgunakannya, menempatkan KTP-el sebagai bukti identitas dapat memilih dalam pemilu sudah tepat dan proporsional.
MK menolak akta otentik di luar Suket dijadikan syarat nyoblos.
“Sementara itu, pada saat ini, integrasi data dimaksud telah dilakukan sehingga alasan untuk menggunakan identitas lain di luar KTP-el menjadi kehilangan dasar pijakan untuk tetap mempertahankannya dalam konteks penggunaan hak pilih. Sebab, apabila pandangan demikian tidak disesuaikan dengan perkembangan pengintegrasian data kependudukan dan data kepemiluan maka akan berakibat terganggunya validitas data kependudukan yang sekaligus data kepemiluan yang pada akhirnya bermuara pada legitimasi pemilu,” demikian penjelasan MK.(detikcom)