Ketika Investasi Tak Sesuai Ekspektasi

oleh -1,461 views
Penulis: H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

JABARPOS.COM – Menggenjot investasi merupakan upaya paling gencar ditempuh oleh Pemerintah. Terutama di bawah kepemimpinan presiden Joko Widodo yang memasuki usia 7 tahun. Saking antusiasnya sampai menerbitkan regulasi khusus yakni omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja, meski mendapat penentangan dan protes masif berbagai kalangan khususnya mahasiswa. Pemerintah beranggapan beleid tersebut bak “jamu kuat” untuk mendorong pertumbuhan investasi. Pasalnya akan memangkas peraturan tumpang tindih yang selama ini menahan laju investasi di tanah air. UU Ciptaker juga dijuluki sebagai undang-undang masa depan. Alasannya akan menciptakan banyak lapangan kerja. Tak cukup sampai di situ, sebagai bentuk tindak lanjut UU Ciptaker, sekarang juga dibentuk Kementerian khusus untuk menangani investasi. Intinya investasi diperlakukan istimewa. Melihat besarnya atensi, apakah benar investasi permasalahan utama saat ini?

Pertanyaan barusan bukan meragukan investasi. Jelas investasi dibutuhkan untuk menggerakan roda perekonomian. Tapi apakah besar nilai investasi berdampak positif? Sudah sepadankah hasil didapat? Dibalik pertanyaan tadi ada paradoks. Ternyata dalam rentang 9 tahun terakhir saat investasi terus bertumbuh, penyerapan tenaga kerja justru menyusut. Menurut BPKM, sejak 2013 hingga awal tahun 2021, investasi rata-rata tumbuh 11,0 persen setiap tahun. Tapi serapan tenaga kerja kurun waktu yang sama justru menyusut. Lihat tahun 2021, realisasi investasi kuartal II naik Rp 223 triliun tapi realisasi serapan tenaga kerja dari investasi kuartal II sebesar 311.922 pekerja. Cenderung stagnan dibanding kuartal I yakni 311.793 orang. Tahun 2020 total investasi Rp 826,3 triliun, rasio serapan tenaga kerja per Rp 1 triliun 1.404 orang. Tahun 2019 investasi Rp 809,6 triliun, rasio serapan tenaga kerja per Rp 1 triliun 1.600 orang. Sementara tahun 2010 investasi Rp 206 triliun, rasio serapan tenaga kerja per Rp1 triliun justru menyerap 5.014 orang. Tahun 2013 investasi Rp 398,3 triliun rasio serapan tenaga kerja per Rp 1 triliun menyerap 4.594 orang. Adapun Riau, realisasi investasi juga terbilang moncer. Sepanjang 2020 walau investasi lampaui target yakni Rp 49,64 triliun, tenaga kerja terserap total 41.855 orang. Sedang sepanjang 2019 investasi Rp 41,80  triliun menyerap total 61.455 orang.

Efek Domino

Sebenarnya tak ada masalah mendasar investasi. Ekonom bilang, berdasarkan data capaian investasi Indonesia lebih tinggi dari China, Malaysia, Thailand, Brazil, Afrika Selatan dan nyaris sama dengan India meski kalah dari Vietnam. Angka investasi Indonesia terbilang paling tinggi di era Presiden Joko Widodo, sekitar 34 persen dari PDB. Indonesia juga masuk 20 negara top penerima investasi. Ironisnya, banyaknya jumlah investasi masuk tak berbanding lurus dengan output diperoleh. Padahal sudah banyak biaya pembangunan demi menambah daya tarik investasi. Bangun bandara, jalur kereta, pelabuhan dan lain-lain tapi nilai ekonominya tak sebanding. Presiden pun mengutarakan kekesalan betapa tak efektifnya perencanaan belanja fisik. Berangkat dari sini mestinya fokus Pemerintah baik pusat hingga daerah bukan hanya peningkatan nilai investasi. Tapi bagaimana efek domino dan multiplier effect dapat dicapai dari investasi. Paling konkrit diharapkan adalah serapan tenaga kerja dan keuntungan riil lain bagi perekonomian daerah. Jadi jangan bangga besarnya nilai investasi ditanam tapi keuntungan malah dibawa lari keluar atau malah merugikan bangsa. Dominasi investasi asing pada bisnis start up dalam negeri pelajaran berharga. Selain uang lari ke luar, belakangan juga terendus praktik pencucian uang berkedok dana investasi luar negeri. Belakang terungkap pula temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hasil pemeriksaan 2019-2020 berupa indikasi investasi fiktif senilai Rp15,22 triliun, 4.103 investasi asing tak penuhi syarat dan Rp 75,94 Triliun diduga bermasalah.

Sudah seharusnya kebijakan terkait investasi didesain secara sistematis, efektif dan efisien. Mulai tahap collecting investasi dan pembangunan hingga sinkronisasi lanjutan di sektor riil. Sekarang kesannya yang penting kejar investasi. Untuk Riau misalnya, urgensi sekarang dan mendatang adalah strategi berbasis hilirisasi dan efektivitas pengelolaan potensi ekonomi. Mengacu dari paradigma tersebut, investasi dinilai paling menguntungkan daerah mendapat paket insentif atau “karpet merah”. Seperti investasi padat karya dan sektor usaha berbasis keunggulan Riau yakni pertanian dan perkebunan yang menyerap banyak tenaga kerja sekaligus sumber pundi pendapatan daerah. Patut disyukuri tren investasi Riau meningkat. Walaupun pertimbangan investor memilih Riau masih condong kepada letaknya yang strategis. Sementara untuk daya saing daerah, ease doing business (kemudahan dalam berbisnis) dan tenaga kerja perlu kinerja lebih baik lagi.

Daya Saing

Investasi dan daya saing daerah saling berkaitan. Kesuksesan investasi dan keuntungan daerah ditentukan dari kesungguhan Pemda membenahi wilayahnya. Hasil pemetaan Indeks Daya Saing Daerah (IDSD) menempatkan Riau di urutan ke-19 dari seluruh provinsi atau kategori sedang. Di Sumatera, Riau peringkat ke 3 terbawah dan secara nasional di bawah Papua Barat. Jadi perlu kerja keras. Untuk daya saing SDM spesifik tenaga kerja, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau tahun 2020 didominasi penduduk bekerja berpendidikan SD yakni 33,47 persen, diikuti tamatan SMA 24,64 persen, SMP 17,02 persen lalu pendidikan tinggi 10,74 persen dan diploma 2,85 persen. Peran Pemda memfasilitasi terwujudnya SDM berdaya saing agar kesejahteraan meningkat sangat dinanti. Permasalahan bisa rumit melihat kondisi pendidikan, kesehatan dan kebutuhan mendasar. Paling relevan sektor pendidikan. Ketersediaan dan kondisi sarana sekolah di Riau cukup memprihatinkan. Menurut data, sekitar 70 persen bangunan SD kondisi rusak/tidak layak, SMP sekitar 60 persen dan SMA yang kewenangan Pemprov Riau sekitar 50 persen. Belum lagi problem putus sekolah selama pandemi. Perguruan tinggi juga perlu diperhatikan. Keberadaan PTN di Riau harusnya memberi keuntungan tersendiri. Meski bernaung di bawah kementerian, alokasi sarana dan prasarana ke PTN lebih prospek ketimbang belanja instansi/lembaga vertikal lain di daerah.

Terakhir, supaya investasi berdampak masif ke daerah, menggesa terwujudnya kawasan industri juga menambah nilai. Sayangnya dari kawasan industri yang sudah ditetapkan Pemprov Riau yaitu: Kawasan Industri Dumai di Pelintung, Kawasan Industri Tanjung Buton dan Kawasan Industri Kuala Enok baru kawasan industri di Dumai berjalan dengan baik. Sementara Kawasan Industri Tanjung Buton dan Kuala Enok perlu waktu pengembangan. Di luar itu mengantri kawasan strategis lain seperti Pekansikawan, Selat Panjang dan seterusnya. Keuntungan kawasan industri/strategis selain mendistribusikan ekonomi dan pembangunan, kemudahan berbisnis, chain supply turut membantu capaian investasi lebih berkualitas. Investasi berkualitas dimaksud adalah investasi berorientasi ekspor, transfer pengetahuan dan teknologi sehingga dapat memperkuat daya saing daerah dan tentunya bisa menyerap banyak tenaga kerja.

Aspek-aspek di atas juga berkontribusi terhadap angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia. Sebagai informasi, ICOR adalah parameter tingkat efisiensi investasi suatu negara. Semakin kecil angka, biaya investasi makin efisien untuk menghasilkan output tertentu. Mirisnya, setelah membaik di tahun 2016, Skor ICOR Indonesia tahun 2019 kembali memburuk. Perbandingan ICOR dengan beberapa negara ASEAN rentang 2015-2019 adalah Indonesia 6,8, India 5, Malaysia 5,4, Filipina 4,1 dan Vietnam 3,7. Tak heran investasi dan perekonomian Indonesia masuk kategori tidak efisien dan berbiaya tinggi. Kelalaian memenuhi harapan tadi sering dimanfaatkan Thailand dan Vietnam menarik minat investor merelokasi usaha dari Indonesia. Berkaca dari pengalaman banyak negara, langkah menurunkan ICOR bukan promo kemudahan berusaha saja. Tetapi mewujudkan pemerintah dan tata kelola yang baik, tersedia banyak opsi investasi, keterbukaan dan transparansi, infrastruktur memadai, serta paling penting tetap aware peduli aspek lingkungan. Mengingat investasi bukan semata mengejar keuntungan masa kini tapi bicara keuntungan jangka panjang bagi daerah.

*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi jabarpos.com