JABARPOS.COM – Front Pembela Islam (FPI) adalah sebuah nama organisasi kemasyarakatan yang tidak asing lagi. Organisasi ini dengan cepat popular di Indonesia sejak beberapa tahun belakangan. FPI sering muncul di berbagai media massa dalam pemberitaan yang kontroversial dan selalu menyedot perhatian masyarakat. Ini berhubungan erat dengan kegiatan utama FPI yaitu melakukan aksi-aksi “penertiban” (sweeping) dan seringkali berujung pada kekerasan (Syaefuddin, 2014).
Bisa dikatakan aktivitas utama FPI adalah merazia tempat hiburan yang mereka anggap sebagai sarang kemaksiatan seperti klub malam, diskotik, kafe, kasino, dan lain – lain (Jamhari, 2004). FPI mulai terkenal pasca reformasi di Indonesia. Gerakannya sering diwujudkan dalam tindakan radikal yang menimbulkan rasa takut dan bahkan menjadi momok bagi sebagian masyarakat. FPI juga adalah salah satu kelompok Islam fundamentalis. Jargon yang mereka gunakan tidak jauh dari doktrin menegakkan hukum Allah, lebih khusus lagi pengenaan hukum Islam, dan penolakan mereka terhadap Barat (Jamhari, 2004).
Beragam kasus hukum yang melibatkan Front Pembela Islam (FPI) akhirnya berujung pada dikeluarkannya keputusan pembubaran organisasi itu oleh pemerintah. Pembubaran FPI diputuskan lewat surat keputusan bersama (SKB) yang ditandatangani enam pejabat menteri dan kepala lembaga negara. Mereka yang menandatangani SKB adalah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Kepala BNPT Boy Rafli Amar dan Kapolri Jenderal Idham Azis (cnnindonesia.com, 2020).
Keenamnya menuangkan dalam Surat Keputusan Bersama Nomor 220/4780 Tahun 2020, Nomor M.HH/14.HH05.05 Tahun 2020, Nomor 690 Tahun 2020, Nomor 264 Tahun 2020, Nomor KB/3/XXI Tahun 2020, dan Nomor 320 Tahun 2020 tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI. Isi SKB ini berlaku mulai 30 Desember 2020 dan telah dibacakan dihadapan media oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej (kompas.com, 2020).
Dengan demikian, keberadaan FPI yang tersebar di Indonesia tidak diakui lagi. Bahkan seluruh kegiatan yang dilakukan FPI pasca dikeluarkannya SKB tersebut bisa dibubarkan polisi. FPI secara resmi berdiri pada tanggal 17 Agustus 1998, bertepatan dengan tanggal 24 Rabiuts Tsani 1419 H, di pondok pesantren Alum Kampong Utan, Ciputat, Jakarta Selatan. FPI didirikan oleh sejumlah haba’ib, ulama’, muballigh, serta aktivis muslim dan umat Islam. Tokoh yang mempelopori berdirinya FPI adalah Muhammad Rizieq Shihab. Tidak hanya di Jakarta, seiring berjalannya waktu, simpatisan FPI bertambah banyak dan mendirikan FPI di daerah-daerah, Seperti di Surakarta, Bandung dan Yogyakarta hingga hampir di setiap kota di Indonesia (Jamhari, 2004).
Namun demikian, secara obyektif harus disebutkan pula bahwa disamping aksi-aksi kontroversial yang kerap mereka lakukan, FPI juga banyak melibatkan diri dalam aksi-aksi kemanusiaan antara lain pengiriman relawan ke daerah bencana tsunami di Aceh, bantuan relawan dan logistik saat bencana gempa di Padang dan beberapa aktivitas kemanusiaan lainnya (Faiz, 2014). Wacana keputusan pemerintah terkait pembubaran dan pemberhentian seluruh kegiatan FPI yang mulai berlaku pada tanggal 30 Desember 2020 lalu memunculkan pro dan kontra yang masih bergulir dan terus menjadi pembicaraan hangat media maupun masyarakat di negeri ini. Mereka yang mengikuti sepak terjang FPI ramai mengemukakan pendapatnya melalui saluran komunikasi yang ada.
Dalam tulisan ini, penulis fokus pada teks berita yang diproduksi oleh kompas.com dengan beberapa alasan. Pertama, kompas.com merupakan salah satu portal berita yang paling banyak memproduksi berita tentang keputusan pembubaran FPI terutama sejak diberlakukan SKB yang ditandatangani enam menteri/kepala lembaga pada tanggal 30 Desember 2020. Kedua, kompas.com merupakan salah satu portal berita yang populer dibaca khalayak dengan jumlah user mencapai 30.000 per harinya. Ketiga, kompas.com merupakan media dengan ideologi nasionalis dan berada di bawah naungan Kompas Gramedia.
Wacana dan Kekuasaan
Istilah wacana sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Ia berkelindan dengan istilah khas lainnya milik Foucault seperti episteme, arkeologi, dan genealogi. Secara historis Michel Foucault (1978, 1979) adalah konseptor awal istilah wacana. Dari sinilah muncul teori relasi pengetahuan dan kekuasaan atau kekuasaan dan pengetahuan (power/knowledge atau pouvoir/savoir). Pengetahuan/kekuasaan berkerja melalui bahasa (Lubis, 2014).
Foucault (2009) secara gamblang menjelaskan, wacana telah memproduksi pengetahuan, dan pengetahuan selalu menjadi senjata bagi kekuasaan, dalam wacana kekuasaan dan pengetahuan selalu hadir bersama. Kekuasaan dalam pandangan Foucault bersifat produktif dan tidak kelihatan karena ia hadir dalam setiap relasi sosial, dipraktikkan secara luar, menyebar dan menyusup dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dan setiap masyarakat memiliki rezim kebenarannya sendiri. Di mana setiap tipe wacana diterima dan berfungsi sebagai kebenaran. Salah satu tujuan utama dari kekuasaan adalah untuk mencari bagaimana manusia memerintah dirinya dan orang lain dengan memproduksi kebenaran. Kekuasaan tidak selalu bekerja melalui cara-cara represif dan intimidasi, melainkan bekerja melalui aturan-aturan dan normalisasi. Salah satu cara untuk melanggengkan kekuasaan adalah melalui penggunaan bahasa dan wacana yang disesuaikan dengan kehendak dan kepentingan penguasa.
Dalam hal ini, wacana sebagai cara membentuk pengetahuan di mana praktik sosial dan bentuk subjektivitas bersifar inheren dalam setiap pengetahuan dan relasinya. Wacana lebih dari sekadar cara berpikir dan menciptakan makna. Hubungan antara bentuk kekuasaan modern dan pengetahuan modern telah menciptakan bentuk dominasi baru. Karena, selain eksploitasi dan dominasi, ada satu bentuk yang diakibatkan oleh suatu diskursus, yakni subjection (bentuk penyerahan seseorang pada orang lain sebagai individu, seperti pasien pada psikiater) (Nugroho, 2020).
Oleh karena itu, bahasa adalah bagian dari suara-suara dan alat manusia untuk menyebarkan ide yang beragam. Bahasa dan kekuasaan adalah tentang bagaimana fungsi bahasa dalam menjaga dan mengubah hubungan kekuasaan dalam suatu kelompok masyarakat. Sehingga bahasa tak lepas dari wacana dalam perspektif kritis. Penggunaan bahasa tidak dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat netral yang dapat mentransmisikan dan menghadirkan realitas sosial seperti realitas aslinya yang apa adanya. Karena sesungguhnya bahasa pasti bermuatan kekuasaan. Bahkan bahasa tidak dapat dilepaskan dari perannya sebagai alat kontrol sosial dan alat kekuasaan. Antara bahasa dengan kekuasaan memiliki jarak atau celah untuk menghadirkan kekuatan-kekuatan tertentu dalam teks.
Pembahasan
Dalam suatu konstruksi pemberitaan di media massa, proses produksi berita tidak dapat terlepas dari adanya hegemoni bahasa. Bahasa yang semula digunakan sebagai alat komunikasi sudah bergeser menjadi alat untuk berpolitik, budaya, dan alat untuk mendapatkan kekuasaan. Kini, bahasa dalam suatu wacana dijadikan suatu pembenaran tentang bagaimana suatu pihak mampu menguasai orang lain untuk diperdaya dan menguasai lawannya dengan menggunakan kekuatan bahasa (Mardikantoro, dkk. 2019).
Meminjam istilah Michel Foucault, dalam bahasa ada selalu hadir kekuasaan. Berarti analisis bahasa adalah untuk membongkar representasi kekuasaan yang ada di media.
a. Kompas.com beberapa kali menggunakan pilihan diksi seperti ‘’membubarkan’’, ‘’bubarkan’’, ‘’pembubaran’’, ‘’menghentikan’’, ‘’hentikan’’, ‘’menolak’’, ‘’disetujui’’, dan ‘’melarang’’. Pilihan diksi tersebut menggambarkan bahwa pemerintah benar-benar serius dan telah bertindak tegas terhadap FPI di penghujung tahun 2020. Pemerintah punya alasan melakukan itu.
Kompas.com menggunakan pilihan diksi seperti ‘’pelanggaran’’ dan ‘’terlarang’’ untuk menggambarkan FPI sebagai pihak yang salah. Singkat kata, keputusan pembubaran FPI melalui SKB enam menteri dan kepala lembaga negara adalah keputusan benar karena sifatnya berkekuatan hukum berdasarkan pertimbangan adanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh FPI selama ini.
b. Kompas.com menggunakan istilah seperti ‘’de jure’’, ‘’legal standing sebagai ormas’’, ‘’ideologi Pancasila’’, ‘’keputusan bersama’’, dan ‘’menjaga kemaslahatan’’ memberi kesan bahwa keputusan pembubaran FPI melalui SKB enam menteri dan kepala lembaga negara tertanggal 30 Desember 2020 sudah berjalan secara adil dan sudah sesuai aturan serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Kompas.com menegaskan dalam kalimat panjang. ‘’Bahwa untuk menjaga eksitensi ideologi dan konsensus dasar bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, keutuhan NKRI, dan Bhinekka Tunggal Ika’’. Argumentasi ini untuk menjelaskan salah satu pertimbangan utama pemerintah membubarkan FPI. Sebab apa yang dilakukan FPI selama ini sudah tidak sejalan dengan ideologi dan nilai-nilai yang diyakini dan dianut masyarakat Indonesia sejak menyatakan diri sebagai negara merdeka dan berdaulat. Pelanggaran-pelanggaran FPI dituangkan secara jelas dalam SKB enam menteri dan kepala lembaga negara. Dan kompas.com membeberkan isi dari SKB tersebut dalam beberapa beritanya.
Pertanyaannya adalah ada apa di balik berita kompas.com yang setuju diberlakukannya SKB enam menteri dan kepala lembaga negara tentang pembubaran dan pemberhentian seluruh kegiatan FPI? Ada apa di balik berita kompas.com yang menyalahkan dan menyudutkan FPI?
Posisi kompas.com yang sejalan dengan arus utama suara publik menunjukkan satu hal bahwa kompas.com sedang mencari positioning dalam ranah pertarungan antarmedia online yang kian sengit setiap saat. Karena tidak semua media dan elemen masyarakat yang setuju dengan pemberlakuan SKB enam menteri dan kepala lembaga negara. Mereka yang mengaku pro-demokrasi dan pro-reformasi tidak mendukung tindakan pemerintah membubarkan FPI, sebab pembubaran FPI bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan juga nilai-nilai reformasi.
Beberapa tokoh ormas Islam bahkan berani mengkritik langkah pemerintah yang melarang aktivitas FPI dan membubarkan ormas tersebut melalui pemberitaan media. Menurut mereka, ini sama halnya dengan mencederai demokrasi di Indonesia. Lebih dari itu tidak sejalan dengan nilai-nilai reformasi yang memberi kebebasan berserikat dan berkumpul tanpa ada lagi intervensi dari pemerintah maupun penguasa.
Tidak sedikit pula yang menyebutkan bahwa terbitnya SKB enam menteri dan kepala lembaga negara hanyalah sebagai langkah politik yang dilakukan oleh pemerintah (dalam hal ini pemerintahan Jokowi) agar FPI tak lagi melakukan hal-hal yang dapat membahayakan kekuasaan. Apalagi dalam surat tersebut pemerintah menyimpulkan bahwa organisasi yang dipimpin Rizieq Shihab itu berafiliasi dengan terorisme, tanpa melewati proses hukum yang jelas. Meski hal ini dibantah oleh beberapa kalangan yang menganggap dugaan pemerintah tersebut sangatlah berlebihan.
Kompas.com menempatkan FPI sebagai organisasi yang tidak memiliki legal standing sebagai organisasi kemasyarakatan. Selain itu, pemerintah menyebut FPI selama ini melakukan pelanggaran-pelanggaran yang bertentangan dengan hukum. Kompas.com beberapa kali dalam beritanya mengutip pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej bahwa pembubaran FPI bertujuan untuk menjaga eksitensi ideologi dan konsensus dasar bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, keutuhan NKRI, dan Bhinekka Tunggal Ika.
Sebetulnya wacana pembubaran FPI sudah sejak lama dibicarakan oleh media. Bahkan sebagian masyarakat menuntut agar pemerintah mengambil tindakan tegas. Karena sebagian aktivitas FPI berupa sweeping dinilai meresahkan dan melampau batas kewenangan sebagai ormas. Pernyataan dalam artikel kompas.com yang dipilih redaksi seakan-akan posisi pemerintah kuat dan posisi FPI lemah. Dengan penggunaan kata ‘’membubarkan’’, ‘’dibubarkan’’, ‘’dihentikan’’, dan ‘’menghentikan’’. Redaksi kompas.com tidak menggunakan penghalusan kata atau kalimat dalam artikelnya. Setidaknya ada argumentasi yang strukturnya menunjukkan betapa kuat dasar dikeluarkannya SKB enam menteri dan kepala lembaga negara terkait pembubaran FPI dan pelarangan segala aktivitas yang dilakukannya sejak diberlakukan pada tanggal 30 Desember 2020.
Ketika diserang oleh sebagian pihak yang prodemokrasi dan proreformasi bahwa keputusan pembubaran FPI melalui SKB adalah tindakan yang bertentangan dengan demokrasi dan reformasi, di sini kompas.com tampil membela pemerintah dalam pemberitaannya khusus pada edisi 30 Desember 2020. Ini terlihat dari keseluruhan berita yang diproduksi pada hari diumumkannya pemberlakukan SKB. Bahkan kompas.com sempat mengutip pernyataan dalam pemberitaannya bahwa FPI disebut-sebut sebagai bagian dari terorisme.
Keberpihakan kompas.com selain kelihatan dari struktur argumentasi, juga tampak di dalam absennya suara FPI dalam semua berita yang tayang pada 30 Desember 2020. Tak ada satu pun dari pihak FPI yang dijadikan sumber berita terkait sikap dan keberatan mereka dengan ditetapkannya SKB enam menteri dan kepala lembaga negara sebagai dasar hukum pembubaran FPI dan pelarangan segala aktivitas yang dilakukannya. FPI sebagai pihak yang bersalah dan keputusan pemerintah membubarkan FPI adalah yang benar.
Di sinilah pencitraan pemerintah sebagai pihak yang dibela kompas.com. pemerintah berhasil membangun opini publik yang positif bahwa mereka bisa bersikap tegas kepada FPI yang selama ini dianggap sebagai ormas yang ditakuti, ormas yang sebagian besar aktivitasnya identik dengan kekerasan dan pengrusakan, ormas yang sangat berani menentang apa yang tidak sesuai dengan apa yang mereka yakini.
(opini)
*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi jabarpos.com